POTO GUE

POTO GUE
"Kematian seperti cinta pertama yang mengubah segalanya"

Monday, August 28, 2006

Pernahkah Anda Kehilangan Sapi ?

Pernahkah Anda Kehilangan Sapi ?


Suatu kisah Zen yang selalu menarik minat saya ialah kisah tentang seorang petani yang kehilangan sapinya.

Suatu saat seorang petani membiarkan sapinya merumput di padang sementara ia sendiri bersantai sejenak di bawah sebuah pohon rindang sehingga ia sampai ketiduran tanpa disadarinya.

Setelah terbangun ia tidak melihat sapinya yang tadi sedang asyik merumput. Ia kehilangan sapinya dan merasa sangat cemas. Ia terus meneliti jejak kaki sapinya di padang rumput itu yang ternyata menuju ke arah rimba yang kelam.

Tiba-tiba ia malahan mendapatkan dirinya sendiri lenyap dan tersesat di dalam kegelapan hutan. Ia terus menerus mencari sapi dan dirinya di dalam kegelapan hutan itu.

Akhirnya ia menemukan kembali sapinya yang ternyata masih saja tetap merumput di ladang semula tadi.

Betapa gembiranya ia kini menemukan sapi dan dirinya kembali. Alam semesta tampak lebih ceria dan ia menemukan dirinya lebih bersemangat lagi untuk meneruskan pekerjaannya membajak sawah, menanam padi dan menghasilkan beras bagi sesama warga yang lain.

Sapi adalah ternak yang paling berharga untuk seorang petani. Kehilangan sapi bagi petani adalah ibarat kehilangan segala-galanya. Tanpa sapi ia tidak lagi dapat membajak sawahnya. Tanpa sapi anak-anaknya kehilangan susu segar untuk diminum. Tanpa sapi tidak mungkin lagi bibit padi ditanam yang akan menghasilkan panen pada musimnya. Petani, sapi, karya, panen, kelangsungan hidup adalah suatu sistem yang bagian-bagiannya saling berkoherensi satu sama lain. Kehilangan salah satu bagian akan meruntuhkan seluruh sistem kehidupannya.

Apapun karir atau profesi seseorang maka setiap orang dapat diibaratkan sebagai seorang petani (agricola). Kata 'ager' dalam bahasa Latin artinya 'lahan' dan 'colo' artinya '(aku) mengolah'. Setiap orang mengolah lahannya masing-masing untuk menghasilkan sesuatu bagi orang lain dan bagi kelangsungan hidupnya. Setiap orang juga mengolah lahan yang berada 'di luar dirinya' tetapi juga yang berada 'di dalam dirinya' sendiri. Ia mengolah badannya, ia mengolah pikirannya dan batinnya, ia mengolah ruhnya juga.

Setiap petani harus kehilangan sapinya supaya ia mampu memahami apa artinya kehilangan dan apa artinya menemukan kembali. Tanpa 'proses kehilangan' tidak mungkin ada proses 'penemuan kembali'. Seseorang yang pernah sakit barulah menemukan arti sesungguhnya daripada kesehatan. Orang yang kehilangan karirnya barulah memahami benar apa artinya pengangguran. Dan bila ia memperoleh pekerjaan kembali barulah ia mampu mengapresiasi makna daripada bekerja (employment).

Orang yang merasa dirinya hebat karena telah berhasil mencapai karir yang hebat seperti menjadi penulis terkenal, penyair, penulis drama, kolumnis tidak akan pernah memahami apa artinya kehilangan pekerjaan karena baginya semuanya masih 'ada di tempatnya'. Sapinya masih ada di ladang dan tampak kokoh berdiri dengan kepala tertunduk dan asyik merenggut-renggut rumput segar. Akanlah ia kehilangan sapinya?

Suatu saat mungkin saja ia terkena stroke sehingga tangannya menjadi lumpuh dan memorinya menjadi sedikit terblokir. Mungkin saja saat berkendaraan mobilnya tertabrak dan ia kehilangan tangannya untuk menulis atau mengetik pada laptopnya. Dapat terjadi ia kehilangan suara karena pita suaranya terserang kanker tenggorokan. Atau suatu saat korteks bahasanya tertekan oleh tumor otak sehingga ia kehilangan semua memori bahasanya.

Seorang guru bahasa Inggeris di sekolah di bilangan Menteng pernah terserang stroke dan setelah menjalami operasi otak, dia kehilangan semua memori bahasa Inggerisnya. Ia tidak mungkin lagi mengajar bahasa Inggeris sehingga ia ditempatkan di perpustakaan untuk belajar kembali mengeja kata-kata dari dasar sekali. Untunglah korteks bahasanya tidak rusak (corpus callosum-nya masih utuh) sehingga ia menjadi normal lagi dan mampu mengajar kembali. Seorang kenalan lain terganggu korteks bahasanya sehingga setelah siuman dari keadaan koma ia malah berceloteh dalam bahasa Inggeris dan tak mampu berbahasa Indonesia. Setelah sepuluh tahun masa pemulihan ia sudah mampu berbahasa Indonesia secara terbata-bata tetapi tetap tidak mampu membaca dan menulis. Baginya kata-kata adalah simbol grafis dan hal itu berarti otak kanannya normal tetapi otak kirinya masih mengalami disfungsi pada korteks bahasa.

Suatu proposisi terkenal dari Rene Discartes, filsuf Perancis, berbunyi dalam bahasa Latin: Cogito ergo sum yang umumnya oleh awam diterjemahkan sebagai: "Aku berpikir, maka aku ada." Tetapi bagi yang memahami indahnya bahasa Latin mereka dapat memahami makna lain yaitu "Aku ada, maka aku berpikir." Mengapa? Karena bahasa Latin itu dapat dibaca secara omni directional atau dibaca bolak-balik secara both side. "Cogito, ergo sum" dapat dibaca juga "Sum, ergo cogito". Tentunya tanpa koma yang ditambahkan untuk aksentuasi saja.

Dengan cerdasnya Descartes menggambarkan situasi manusia sebelum kehilangan sapinya dengan makna "Aku berpikir, maka aku ada". Termasuk berpikir ialah kegiatan membeda-bedakan secara pilihan biner. Benar-salah, cerdas-bodoh, bermoral-imoral, hebat-remeh, dsb. Tetapi bagi mereka yang sudah menemukan sapi dan jati dirinya kembali yaitu setelah mengalami keterpisahan akan berkata: "Aku ada, maka aku berpikir". Berpikir dengan lebih jernih, berpikir dengan tidak memihak, berpikir sebagai manusia yang "pernah kehilangan" baik sapinya maupun dirinya.

Manusia juga dapat kehilangan terang. Setelah manusia pernah kehilangan terang (paranoia, The Cloud of Unknown), maka barulah ia kemudian akan memahami makna kegelapan. Ada seorang bijak yang mengatakan: "Bila engkau kehilangan terang, maka alangkah gelapnya kegelapan itu." Gelap ya gelap, habis perkara, mau ditafsirkan secara bagaimana lagikah?

Orang yang kehilangan terang akan mengalami kegelapan sementara. Setelah itu ia akan menemukan kembali terang itu dalam paradigma yang sama sekali baru. Tetapi bila ia sampai kehilangan terang yang sudah menjadi Terang itu kembali maka ia selamanya akan berada dalam Kegelapan. Bila orang kehilangan penglihatan indera mata maka ia akan mengalami kegelapan tetapi mereka yang kehilangan mata hati maka ia akan mengalami Kegelapan yang mengerikan. Maka orang bijak itupun juga mengatakan: "Barang siapa mempunyai mata hendaknya ia melihat dan barang siapa memiliki telinga hendaklah ia mendengar". Kita semua memang memiliki mata dan telinga tetapi apakah kita semua mampu melihat Terang dan mendengar Suara Kebenaran?

No comments:

Yahoo Mesengger