POTO GUE

POTO GUE
"Kematian seperti cinta pertama yang mengubah segalanya"

Tuesday, October 17, 2006

BAB SHOLAT 3

Thuma’ninah dan Flow



“Wahai jiwa yang tenang (muthma’innah). Pulanglah engkau kepada Rabbmu dalam keadaan kamu rela dan Tuhan rela kepadamu. Maka masuklah kamu ke surgaku, dan masuklah kamu ke golongan hamba-hambaku (yang berjaya)” (QS.89 : 27 – 30)

Ayat di atas dengan indah mengisahkan akhir perjalanan jiwa manusia yang telah sampai kembali kepada puncak ketenangan – yang memang merupakan fitrahnya pada saat ia diciptakan pertama kali – usai perjuangannya melawan jiwa yang mendorong-dorongnya menuju keburukan. Inilah sekaligus akhir kembalinya jiwa kepada asal-muasalnya (ma’ad) : Tuhan. Karena bukankah sesungguhnya jiwa manusia adalah pancaran Ruh Tuhan? Innaa lil-Laah wa innaa ilaihi raaji’un (sesungguhnya bagian dari Allah dan kepada Allah jualah kita kembali)

Jiwa yang tenang dalam al-Qur’an disebut sebagai al-nafs al-muthma’innah. Kata muthma’innah memiliki akar kata yang sama dengan kata thuma’ninah, yang merupakan salah satu syarat sah shalat. Thuma’ninah adalah ketenangan dalam melakukan semua bacaan dan gerakan shalat, sedemikian sehingga kesemuanya itu dapat dilakukan satu demi satu (one at a time), tidak terburu-buru, sambil memberi waktu cukup untuk pelaksanaan secara sempurna semua rukun shalat, agar kekhusyukan shalat dapat terpelihara. Memang, rukun yang satu ini terkait erat dengan keharusan khusyuk.Seperti telah disinggung dalam tulisan-tulisan yang lalu, khusyuk tak mungkin dapat diraih jika shalat dilakukan secara terburu-buru dan lalai (inattentive), bagaikan – kata Rasul saaw. – “burung yang mematuk-matuk makanannya.”

Shalat yang diselenggarakan dengan memelihara thuma’ninah kiranya merupakan latihan sekaligus sarana untuk menaikkan tingkatan jiwa kita sehingga mencapai derajat “jiwa yang tenang” itu. Dan jika derajat itu bisa dicapai, niscaya seseorang dapat mengalami keadaan pulang kembali kepada Allah, bahkan sebelum ia mengalami kematian. Dengan kata lain, thuma’ninah benar-benar menjadikan shalat sebagai mi’raj, sebagai wahana pertemuan hamba dengan Tuhan-Nya.

Shalat yang dilakukan dengan thuma’ninah pada gilirannya dapat memberikan kebahagiaan kepada pelakunya. Karena, apalagi kebahagiaan itu kalau bukan ketenteraman, kalau bukan kebebasan dari kegelisahan dan tekanan terhadap jiwa? Kenyataan ini kiranya juga sejalan dengan penemuan psikologi mutaakhir. Psikologi modern, sejak mazhab psikoanalisis Freudian, telah melewati berbagai tahap, termasuk kelahiran mazhab humanistik, transpersonal, dan akhirnya psikologi positif. Psikologi positif, yang antara lain ditokohi oleh Mihalyi Csiksenmihayi, telah membalik pandangan psikologi Freudian yang melihat manusia sebagai berpotensi sakit jiwa menjadi berparadigma manusia sebagai berpotensi bahagia. Jadi, sebaliknya dari mengembangkan “psikologi bengkel” untuk menyembuhkan berbagai penyakit jiwa, psikologi positif justru mencari teknik-teknik untuk mengaktualisasikan potensi bahagia manusia.

Mihalyi memberi nama keadaan yang di dalamnya orang merasakan kebahagiaan sebagai “flow” Berbagai ciri keadaan “flow” meliputi :. .

Konsentrasi yang lebih dalam. Dengan kata lain, pikiran tidak terpecah-pecah.
(Perasan memiliki) kendali penuh atas segala sesuatu.
Momen sekarang sebagai satu-satunya hal yang penting. Pada gilirannya, keadaan ini identik dengan keadaan berikut:
Perasaan hilangnya dimensi waktu yang, dalam keadaan biasa, memotong-motong durasi kehidupan kita.
Hilangnya (gagasan) tentang ego (diri), yakni menguapnya batasan-batasan individual kita sebagai sesuatu yang berbeda dari alam selebihnya. (Dalam mistisisme keadaan ini disebut sebagai pengalaman keagamaan yang bersifat ekstrovertif)
Meski suatu penelitian lebih jauh, termasuk yang lebih bersifat empiris perlu dilakukan, dapat diduga bahwa shalat yang dilakukan dengan kekhusyukan dan thuma’ninah dapat menciptakan ciri-ciri yang menandai keadaan flow. Di sini kita diingatkan oleh kisah-kisah shalat Nabi dan para sahabat yang menjadikan mereka seolah kehilangan kesadaran tentang apa-apa yang terjadi di sekitar mereka. Nah, jika pengidentikan keadaan khusyuk dan thuma’ninah dalam shalat dengan keadaan flow ini dapat dibenarkan, maka, bukan hanya secara religius, peran shalat sebagai sumber ketenteraman dan kebahagiaan sekaligus dikonfirmasi oleh penemuan ilmu-pengetahuan modern, dalam hal ini psikologi. Wal-Laahu a’lam.

No comments:

Yahoo Mesengger