POTO GUE

POTO GUE
"Kematian seperti cinta pertama yang mengubah segalanya"

Wednesday, October 18, 2006

BAB SHOLAT 4

Shalat dan Pencerahan


“Jika aku menghadapi problem filosofis yang tak dapat aku pecahkan aku …. biasanya akan pergi ke masjid untuk beri’tikaf di dalamnya. Maka kalau tidak di masjid itu aku mendapatkan pemecahannya, ia biasanya akan datang dalam mimpiku.”

Ungkapan itu keluar dari Ibnu Sina, seorang filosof dan ahli ilmu kedokteran Islam. Agar orang tak salah faham, begitu hebatnya keahlian kedokteran Ibn Sina sehingga ensiklopedi kedokteran yang ditulisaya, berjudul Al-Qanun fi al-Thibb , dipakai di universitas-universitas Eropa hingga abad 18, bahkan 19. (Untuk pandangan Ibn Sina tentang shalat, lihat ringkasannya dalam bab ”Pandangan Ibn Sina tentang Shalat” dalam buku ini juga).

Bagaimana mungkin shalat menjadi wahana pencerahan intelektual? Ada beberapa penjelasan yang bisa diberikan :

Pertama, penjelasan yang diberikan oleh ilmu filsafat atau hikmah. Proses mengetahui dapat bersifat intelektual maupun spiritual. Kaum filosof berpandangan bahwa setiap momen perolehan pencerahan intelektual pada tingkat tertinggi terjadi akibat kontak (ittishal) antara Akal atau Jiwa Suci (al-’aql al-qudsiy atau al-nafs al-qudsiyah) subyek dengan apa yang mereka sebut sebagai Akal Kesepuluh (al-’aql al-’asyir) atau disebut juga Akal Aktif (al-’aql al-fa’’al). Akal atau intelek ini mereka identikkan dengan Malaikat Jibril sebagai pesuruh Allah untuk menyampaikan pengetahuan. (Dalam pandangan ini, pada dasarnya semua pengetahuan datang lewat mekanisme ini, wahyu kepada para Nabi, ilham kepada para wali, atau pun pengetahuan lain kepada manusia selebihnya). Sedangkan dalam hikmah (teosofi atau filsafat mistis) Islam, pengetahuan pada tingkat tertinggi mengambil bentuk ilmu hudhuri (ilmu berdasar kehadiran). Artinya, ilmu seperti ini tidak lagi dicapai lewat suatu proses berpikir biasa (hushuli) melainkan lewat suatu pengalaman religius yang di dalamnya pengetahuan yang diraih hadir begitu saja dalam diri (hati) subyek. Dalam konteks ini, shalat yang memenuhi semua persyaratannya akan menghadirkan dan menyucikan akal, atau jiwa, atau hati sehingga kontak dengan sang penyampai pengetahuan, atau hadirnya pengetahuan itu dapat terjadi.

Kedua, penjelasan berdasar penemuan mutaakhir. Shalat yang khusyuk mengangkat pelakunya dari kesadaran penuh akan keadaan sekeliling kepada suatu keadaan flow, seperti disinggung sebelumnya. Keadaan flow ini, dalam penelitian yang lain tapi sejalan, menempatkan otak dalam suatu keadaan sehingga ia mentransmissikan gelombang tetha, berbeda dengan keadaan jaga biasa yang di dalamnya otak memancarkan gelombang alpha. Menurut penelitian, pada keadaan otak seperti inilah kreativitas – yakni kemampuan untuk memperoleh pemikiran terbaik – terjadi. Kadang, keadaan seperti ini ditunjuk sebagai antara tidur dan jaga. Jadi, pelaku sudah melewati masa kesadaran sehari-hari penuh tapi tak sampai tingkat tertidur. Biasanya, untuk mencapai level kreatif seperti ini, para ahli menyarankan agar orang bermeditasi tetapi, pada saat yang sama, menjaga agar ia tak sampai tertidur. Mereka menyarankan beberapa kegiatan yang diteliti dapat mewakili modus seperti ini, semisal : bersantai di bak mandi, mengemudikan mobil di jalan raya yang sepi, mendengarkan musik klasik, dan sebagainya.

Sebenarnya berbagai bentuk zikir biasa pun memiliki sifat seperti ini. Herbert Benson, seorang ahli kedokteran terkemuka dari Harvard University dan pendiri Mind-Body Institute, telah melakukan penelitian sangat intensif tentang efek meditasi dan pembacaan do’a atau mantera dan mendapati bahwa kegiatan seperti ini dapat mengangkat pelakunya kepada suatu modus atau keadaan otak seperti yang diuraikan di atas. Dalam penelitiannya yang lebih jauh, dia mendapati bahwa do’a atau mantera yang dibaca dalam kerangka keimanan tertentu – yakni sebagai wujud ajaran suatu agama – memiliki tingkat efektivitas yang lebih tinggi.[1]

Nah, shalat dapat diduga paling baik mewakili keadaan antara jaga dan tidur seperti ini secara lebih baik dari kegiatan-kegiatan lain yang disarankan para ahli itu. Kenapa? Karena, jika dalam meditasi, pembacaan doa, apalagi kegiatan-kegiatan mundane (sehari-hari) tertentu yang ditawarkan – seperti mendengarkan musik, bersantai di bak mandi, bahkan menyetir di jalan sepi, dan sebagainya -- masih terbuka banyak kemungkinan pelakunya tertidur, maka shalat dapat memenuhi kedua-dua syarat itu sekaligus. Ia, di satu sisi, mensyaratkan kekhusyukan dan thuma’ninah tapi, di sisi lain, ia mengandung bacaan-bacaan dan gerakan-gerakan yang berubah-ubah sehingga tetap dapat memelihara si pelaku dalam keadaaan jaga, betapa pun khusyuknya ia melakukan shalatnya.

Setelah membaca berbagai fungsi dan manfaat shalat seperti ini, masihkah ada alasan bagi kita untuk menyia-nyiakan fasilitas Allah ini – meskipun andaikan ia bukan merupakan suatu kewajiban keagamaan?





--------------------------------------------------------------------------------

[1] Sebenarnya, Herbert Benson mendapati bahwa bentuk-bentuk meditasi, khususnya yang disertai berbagai bentuk zikir dan pembacan mantera seperti ini, dapat secara amat signifikan mengurangi tingkat stres dan, sejalan dengan itu, meningkatkan kebahagiaan. Secara medis, ia mengurangi kemungkinan serangan penyakit jantung, stroke, dan sebagainya. Shalat sebagai suatu bentuk zikir tentu tak terkecualikan dari efek ini.

No comments:

Yahoo Mesengger