Kaga tau napa mendadak saya teringat dgn Sabda Nabi SAAW (yg pernah disampaikan oleh Haidar Bagir
dalam Kajian Tasawuf Positif) yg inti nya sbb :
Hakekat dari Islam itu adalah Makrifatullah (Mengenal Allah) Dan
Hakekat dari Makrifatullah itu adalah Berahlak yg baik (Ahlakul karimah),Dan
Hakekat dari Ahlakul Karimah itu adalah Silaturohim (berbagi Kasih),Dan
Hakekat dari Silaturohim adalah Mencerabut kesusahan orang lain atau
Memasukkan Kebahagian kepada orang lain.
Tulisan EMHA di bawah ini,seperti nya 'nyambung' dengan poin-poin di atas.
dalam Kajian Tasawuf Positif) yg inti nya sbb :
Hakekat dari Islam itu adalah Makrifatullah (Mengenal Allah) Dan
Hakekat dari Makrifatullah itu adalah Berahlak yg baik (Ahlakul karimah),Dan
Hakekat dari Ahlakul Karimah itu adalah Silaturohim (berbagi Kasih),Dan
Hakekat dari Silaturohim adalah Mencerabut kesusahan orang lain atau
Memasukkan Kebahagian kepada orang lain.
Tulisan EMHA di bawah ini,seperti nya 'nyambung' dengan poin-poin di atas.
Emha Ainun Nadjib: Gusti Allah tidak "ndeso"
BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan
beruntun.
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu
bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan,
yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk
shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar
tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari,
mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang
kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?"
kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau
masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan
lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga
harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah
yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang
kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah
yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan
suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang
yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun
masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal
al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia
sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat
permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak
membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi,
dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun
neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang,
tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang
yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat
shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari
banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur
kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih
sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih,
kemesraan
dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya,
orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut
kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki
perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama
adalah sikap.
Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,
dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura,
menurut saya, kita belum layak disebut orang yang
beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang
negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan
anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang
beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari
kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan
sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang
beragama adalah orang yang bisa menggembirakan
tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang
lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial
pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan
haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap
dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang
meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa
meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi
Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang
shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi
menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad
SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja
belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan
kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan
dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra
baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan
definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport,
psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik
dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang
dapat dimanfaatkan.
Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh
status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau
membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan
Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia
beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama
tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang
memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai
dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa
penganutnya.
Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah
ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah
itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari.
Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan.
Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan
lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.
Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak
tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab
atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo
Tolstoy.
Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri
sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan
kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri
penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan
terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.
Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai
alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang
memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al
Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut
tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan
tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan
politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan
korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.
Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis,
merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek
edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000
pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu
siap menyala.
Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi
bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan
Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai
memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat,
Aceh menjadi contohnya. Ironis.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis
betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan
ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan
kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan,
kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita
saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam
yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah,
sementara di
sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan
kekurangan gizi.
Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di
sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan
sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih
harus menanggung beban mencari sesuap nasi.
Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di
saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut
karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara
ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik
tidak beragama.
BERAGAMA YANG TIDAK KORUPSI
Suatu kali Emha Ainun Nadjib ditodong pertanyaan
beruntun.
"Cak Nun," kata sang penanya, "misalnya pada waktu
bersamaan tiba-tiba sampeyan menghadapi tiga pilihan,
yang harus dipilih salah satu: pergi ke masjid untuk
shalat Jumat, mengantar pacar berenang, atau mengantar
tukang becak miskin ke rumah sakit akibat tabrak lari,
mana yang sampeyan pilih?"
Cak Nun menjawab lantang, "Ya nolong orang
kecelakaan."
"Tapi sampeyan kan dosa karena tidak sembahyang?"
kejar si penanya.
"Ah, mosok Gusti Allah ndeso gitu," jawab Cak Nun.
"Kalau saya memilih shalat Jumat, itu namanya mau
masuk surga tidak ngajak-ngajak, " katanya lagi. "Dan
lagi belum tentu Tuhan memasukkan ke surga orang yang
memperlakukan sembahyang sebagai credit point
pribadi."
Bagi kita yang menjumpai orang yang saat itu juga
harus ditolong, Tuhan tidak berada di mesjid,
melainkan pada diri orang yang kecelakaan itu. Tuhan
mengidentifikasikan dirinya pada sejumlah orang.
Kata Tuhan: kalau engkau menolong orang sakit, Akulah
yang sakit itu.
Kalau engkau menegur orang yang kesepian, Akulah yang
kesepian itu.
Kalau engkau memberi makan orang kelaparan, Akulah
yang kelaparan itu.
Seraya bertanya balik, Emha berujar, "Kira-kira Tuhan
suka yang mana dari tiga orang ini. Pertama, orang
yang shalat lima waktu, membaca al-quran, membangun
masjid, tapi korupsi uang negara.
Kedua, orang yang tiap hari berdakwah, shalat, hapal
al-quran, menganjurkan hidup sederhana, tapi dia
sendiri kaya-raya, pelit, dan mengobarkan semangat
permusuhan. Ketiga, orang yang tidak shalat, tidak
membaca al-quran, tapi suka beramal, tidak korupsi,
dan penuh kasih sayang?"
Kalau saya, ucap Cak Nun, memilih orang yang ketiga.
Kalau korupsi uang negara, itu namanya membangun
neraka, bukan membangun masjid. Kalau korupsi uang
rakyat, itu namanya bukan membaca al-quran, tapi
menginjak-injaknya.
Kalau korupsi uang rakyat, itu namanya tidak
sembahyang,
tapi menginjak Tuhan. Sedang orang yang suka beramal,
tidak korupsi, dan penuh kasih sayang, itulah orang
yang sesungguhnya sembahyang dan membaca al-quran.
Kriteria kesalehan seseorang tidak hanya diukur lewat
shalatnya.
Standar kesalehan seseorang tidak melulu dilihat dari
banyaknya dia hadir di kebaktian atau misa. Tolok ukur
kesalehan hakikatnya adalah output sosialnya: kasih
sayang sosial, sikap demokratis, cinta kasih,
kemesraan
dengan orang lain, memberi, membantu sesama. Idealnya,
orang beragama itu mesti shalat, misa, atau ikut
kebaktian, tetapi juga tidak korupsi dan memiliki
perilaku yang santun dan berkasih sayang.
Agama adalah akhlak. Agama adalah perilaku. Agama
adalah sikap.
Semua agama tentu mengajarkan kesantunan, belas kasih,
dan cinta kasih sesama. Bila kita cuma puasa, shalat,
baca al-quran, pergi kebaktian, misa, datang ke pura,
menurut saya, kita belum layak disebut orang yang
beragama.
Tetapi, bila saat bersamaan kita tidak mencuri uang
negara, meyantuni fakir miskin, memberi makan
anak-anak terlantar, hidup bersih, maka itulah orang
beragama.
Ukuran keberagamaan seseorang sesungguhnya bukan dari
kesalehan personalnya, melainkan diukur dari kesalehan
sosialnya.
Bukan kesalehan pribadi, tapi kesalehan sosial. Orang
beragama adalah orang yang bisa menggembirakan
tetangganya.
Orang beragama ialah orang yang menghormati orang
lain, meski beda agama.
Orang yang punya solidaritas dan keprihatinan sosial
pada kaum mustadh'afin (kaum tertindas).
Juga tidak korupsi dan tidak mengambil yang bukan
haknya.
Karena itu, orang beragama mestinya memunculkan sikap
dan jiwa sosial tinggi. Bukan orang-orang yang
meratakan dahinya ke lantai masjid, sementara beberapa
meter darinya, orang-orang miskin meronta kelaparan.
Ekstrinsik Vs Intrinsik
Dalam sebuah hadis diceritakan, suatu ketika Nabi
Muhammad SAW mendengar berita perihal seorang yang
shalat di malam hari dan puasa di siang hari, tetapi
menyakiti tetangganya dengan lisannya. Nabi Muhammad
SAW menjawab singkat, "Ia di neraka." Hadis ini
memperlihatkan kepada kita bahwa ibadah ritual saja
belum cukup.
Ibadah ritual mesti dibarengi ibadah sosial.
Pelaksanaan ibadah ritual yang tulus harus melahirkan
kepedulian pada lingkungan sosial.
Hadis di atas juga ingin mengatakan, agama jangan
dipakai sebagai tameng memperoleh kedudukan dan citra
baik di hadapan orang lain. Hal ini sejalan dengan
definisi keberagamaan dari Gordon W Allport. Allport,
psikolog, membagi dua macam cara beragama: ekstrinsik
dan intrinsik.
Yang ekstrinsik memandang agama sebagai sesuatu yang
dapat dimanfaatkan.
Agama dimanfaatkan demikian rupa agar dia memperoleh
status darinya. Ia puasa, misa, kebaktian, atau
membaca kitab suci, bukan untuk meraih keberkahan
Tuhan, melainkan supaya orang lain menghargai dirinya.
Dia
beragama demi status dan harga diri. Ajaran agama
tidak menghujam ke dalam dirinya.
Yang kedua, yang intrinsik, adalah cara beragama yang
memasukkan nilai-nilai agama ke dalam dirinya. Nilai
dan ajaran agama terhujam jauh ke dalam jiwa
penganutnya.
Adanya internalisasi nilai spiritual keagamaan. Ibadah
ritual bukan hanya praktik tanpa makna. Semua ibadah
itu memiliki pengaruh dalam sikapnya sehari-hari.
Baginya, agama adalah penghayatan batin kepada Tuhan.
Cara beragama yang intrinsiklah yang mampu menciptakan
lingkungan yang bersih dan penuh kasih sayang.
Keberagamaan ekstrinsik, cara beragama yang tidak
tulus, melahirkan egoisme. Egoisme bertanggungjawab
atas kegagalan manusia mencari kebahagiaan, kata Leo
Tolstoy.
Kebahagiaan tidak terletak pada kesenangan diri
sendiri.
Kebahagiaan terletak pada kebersamaan.
Sebaliknya, cara beragama yang intrinsik menciptakan
kebersamaan.
Karena itu, menciptakan kebahagiaan dalam diri
penganutnya dan lingkungan sosialnya. Ada penghayatan
terhadap pelaksanaan ritual-ritual agama.
Cara beragama yang ekstrinsik menjadikan agama sebagai
alat politis dan ekonomis. Sebuah sikap beragama yang
memunculkan sikap hipokrit; kemunafikan. Syaikh Al
Ghazali dan Sayid Quthb pernah berkata, kita ribut
tentang bid'ah dalam shalat dan haji, tetapi dengan
tenang melakukan bid'ah dalam urusan ekonomi dan
politik. Kita puasa tetapi dengan tenang melakukan
korupsi. Juga kekerasan, pencurian, dan penindasan.
Indonesia, sebuah negeri yang katanya agamis,
merupakan negara penuh pertikaian. Majalah Newsweek
edisi 9 Juli 2001 mencatat, Indonesia dengan 17.000
pulau ini menyimpan 1.000 titik api yang sewaktu-waktu
siap menyala.
Bila tidak dikelola, dengan mudah beralih menjadi
bentuk kekerasan yang memakan korban. Peringatan
Newsweek lima tahun lalu itu, rupanya mulai
memperlihatkan kebenaran. Poso, Maluku, Papua Barat,
Aceh menjadi contohnya. Ironis.
Jalaluddin Rakhmat, dalam Islam Alternatif , menulis
betapa banyak umat Islam disibukkan dengan urusan
ibadah mahdhah (ritual), tetapi mengabaikan
kemiskinan, kebodohan, penyakit, kelaparan,
kesengsaraan, dan kesulitan hidup yang diderita
saudara-saudara mereka. Betapa banyak orang kaya Islam
yang dengan khusuk meratakan dahinya di atas sajadah,
sementara di
sekitarnya tubuh-tubuh layu digerogoti penyakit dan
kekurangan gizi.
Kita kerap melihat jutaan uang dihabiskan untuk
upacara-upacara keagamaan, di saat ribuan anak di
sudut-sudut negeri ini tidak dapat melanjutkan
sekolah. Jutaan uang dihamburkan untuk membangun rumah
ibadah yang megah, di saat ribuan orang tua masih
harus menanggung beban mencari sesuap nasi.
Jutaan uang dipakai untuk naik haji berulang kali, di
saat ribuan orang sakit menggelepar menunggu maut
karena tidak dapat membayar biaya rumah sakit. Secara
ekstrinsik mereka beragama, tetapi secara intrinsik
tidak beragama.
No comments:
Post a Comment