DUKAMU DUKAKU

50 tahun setelah Rasulullah saw wafat, ummat Muhammad dikejutkan oleh peristiwa yang tidak saja merobek dan menyayat hati manusia, tetapi mengguncang para pemikul arsy Allah swt. Seluruh alam berduka, langit bagaikan menjerit, matahari seakan enggan mengeluarkan sinarnya.

Peristiwa apakah itu ? hari itu, 10 Muharram 61 H, seorang putra Sayyidah Fathimah az-Zahra as putri Rasulullah, dialah saudara al-Hasan as, dialah penghulu pemuda surga, dialah “Ka’bah” dialah pemegang mahkota titah langit yang oleh datuknya, Rasulullah saw disandingkan dengan Al-Quran, al-Husain bin Ali bin Abi Thalib as.



Peristiwa itu telah berlalu 1367 tahun hijriyah, tetapi relevansinya tetap hidup untuk semua zaman, betapa tidak, darah suci yang tertumpah di padang Karbala terus bertutur kepada setiap ummat manusia tentang perjuangan suci membela islam agama Muhammad. Darah suci itu menjadi saksi perlawanan kebenaran terhadap kebatilan. Bahkan pada hari itu deklarasi sejagat melawan penguasa zalim dan tiranik di demonstrasikan. Sejak saat itu: Kebangkitan demi kebangkitan terus bergema demi menjaga kehormatan agama Muhammad.



Di tegah zaman yang terhegemoni dengan semangat hidup kapitalistik, yang pada akhirnya akan menghilangkan élan-vital kebenran, maka menghidupkan semangat perjuangan Imam Husain as, menjadi niscaya. Desakralisasi, demoralisasi, dan berbagai bentuk penindasan yang berakibat pada semakin terpinggirnya nilai-nilai keadilan dan kedamaian, pada ujungnya membutuhkan penyatuan langkah perjuangan. Dari situ, model sejati perjuangan Imam Husain as pada hari Asyura 10 Muharram menjadi sebuah alternatif. Memang tragis, tetapi menjajikan kepastian, kemenangan dan kesejatian.



Imam Husain as memperlihatkan contoh menegakkan ammar ma’ruf nahy munkar, memancangkan kembali panji-panji kebenaran islam untuk mengikat persatuan manusia di bawah keadilan dan kedamaian, karena cahayanya hampir redup oleh tangan-tangan kotor iblis berwajah manusia.