POTO GUE

POTO GUE
"Kematian seperti cinta pertama yang mengubah segalanya"

Wednesday, October 04, 2006

Pengeras Suara di Mesjid Kita

Tadi malam sekitar pukul 2.15 pagi saya terbangun oleh suara
pengeras suara dari mesjid di dekat rumah. Si Empunya suara
sepertinya seorang anggota remaja mesjid yang sedang membangunkan
orang untuk sahur. Setelah berteriak gSahurc..sahurc.h, ia
kemudian melanjutkan dengan ceramah singkat, memotivasi
gpendengarnyah untuk meningkatkan ibadah selama bulan Ramadhan.
Meski badan masih lelah, saya tak bisa melanjutkan tidur.
Biasanya saya bangun untuk sahur sekitar jam 3.30.
Saya putuskan untuk mengisi waktu hingga saat sahur dengan
mengerjakan beberapa pekerjaan di komputer saya. Sambil menekan tuts
keyboard komputer, pikiran saya tak bisa lepas dari aktivitas remaja
mesjid yang saya duga berniat baik tadi. Kebetulan persoalan
pengeras suara di mesjid memang telah lama jadi salah satu agenda
dalam fikiran saya.
Saya bertanya pada diri sendiri, perlukan aktivitas untuk
membangunkan orang untuk sahur melalui pengeras suara itu dilakukan?
Aktivitas ini mungkin bermanfaat bagi sekelompok kecil orang. Namun
rasanya lebih banyak orang yang terganggu, di antaranya saya
sendiri.
Di sekitar mesjid di mana pun, tinggal orang-orang dengan
berbagai latar belakang. Tak sedikit dari mereka yang bukan muslim.
Yang muslim pun berbeda-beda kondisinya. Ada orang sakit yang
membutuhkan istirahat. Ada anak bayi yang sangat sensitif pada suara
berisik. Ibu sang bayi juga perlu istirahat setelah mungkin beberapa
kali terbangun untuk mengurus bayinya. Dan masih banyak lagi orang
yang punya alasan untuk merasa terganggu.
Sementara itu, aktivitas membangunkan orang sahur tadi tak urgen
benar. Zaman sekarang jam weker dengan alarm yang bisa disetel
sesuai kebutuhan tersedia dengan harga yang bisa dijangkau oleh
hampir semua orang. Fasilitas ini bahkan tersedia pada berbagai
peralatan elektronik seperti HP. Karenanya, biarkanlah setiap orang
mengatur sendiri jam berapa dia hendak bangun untuk sahur atau
shalat tahajud, tanpa perlu ada seseorang yang secara khusus
membangunkannya, karena aktivitas itu lebih banyak mudaratnya
ketimbang manfaatnya.
Di luar aktivitas membangunkan orang sahur tadi, dari mesjid-
mesjid kita memang sering berkumandang suara dengan volume tinggi
pada jam-jam tertentu, termasuk pada saat di mana orang butuh
istirahat. Ini meliputi suara azan, pembacaan ayat suci Al-Quran,
ceramah, zikir, dan doa. Pada momen tertentu juga berkumandang musik
qasidah.
Pertanyaannya, perlukah semua itu? Lebih penting lagi, apakah
hal itu dapat dibenarkan secara syarfi?
Azan memang perlu dikumandangkan sedemikian rupa agar orang-orang
bisa mendengarnya. Tapi di perkotaan, di dekat rumah kita bisa
terdapat 3-4 mesjid/ mushalla. Maka, perlukan semua mesjid/mushalla
mengumandangkan azan dengan volume suara yang keras pada secara
bersamaan? Pada saat mendengar azan, kita disunatkan untuk
menjawabnya dengan bacaan tertentu. Kalau suara azan datang dari
berbagai arah, tentu kita akan sedikit bingung untuk memilih azan
mana yang harus kita jawab.
Kalau kita ingat fungsinya untuk memanggil, maka azan melalui
pengeras suara seharusnya cukup dilakukan di mesjid-mesjid tertentu,
sedangkan mesjid lain cukup mengumandangkannya tanpa pengeras suara.
Hal ini misalnya sudah diterapkan di Mesir, sebuah negara yang
dikenal telah menghasilkan banyak ulama besar.
Pembacaan ayat suci Al-Quran melalui pengeras suara juga punya
masalah syarfi yang mirip. Kalau dibacakan ayat Quran, kita punya
kewajiban untuk mendengarnya. Ketika ayat Quran dikumandangkan
dengan pengeras suara, ia menjangkau kalangan luas yang tak selalu
dalam keadaan siap untuk mendengar. Lantas, siapa yang berdosa kalau
bacaan itu diabaikan orang?
Tentang zikir dan doa, ada hadist yang melarang kita untuk berdoa
dan berzikir dengan suara keras. Kata Rasulullah, kamu tidak sedang
menyeru pada zat yang tuli, karenanya pelankanlah suaramu. Kalau
Rasulullah melarang kita berzikir dan berdoa dengan suara keras,
mengapa kita memandang perlu untuk menggunakan pengeras suara saat
berdoa dan berzikir? Siapa panutan kita dalam hal ini?
Banyak yang berdalih bahwa penggunaan pengeras suara itu untuk
kepentingan syiar. Setahu saya, syiar itu bertujuan untuk menyiarkan
hal-hal yang baik dan menarik tentang Islam. Lalu, adakah nilai
syiar pada hal-hal yang mengganggu orang lain? Terlebih lagi, adakah
nilai syiar dalam hal-hal yang bertentangan dengan sunnah Rasulullah?
Tak banyak yang berani mengeluhkan soal ini, apalagi secara
terbuka seperti ini. Padahal setahu saya banyak yang merasa
terganggu oleh kebisingan dari mesjid-mesjid tadi. Saya beranikan
diri dengan kesadaran bahwa tindakan ini berisiko. Orang tak berani
mengeluh karena bila itu dia lakukan dia akan dicap menghalangi
kegiatan ibadah. Lebih-lebih bila yang menyatakan keberatan itu
adalah non-muslim. Di beberapa tempat keberatan yang diungkapkan
oleh non-muslim malah berujung pada kerusuhan.
Saya khawatir, dengan aktivitas ibadah, kita justru menjadi
sombong. Karena merasa sedang menyembah Allah, kita lalu menganggap
bahwa kita boleh melakukan apa saja, termasuk hal-hal yang
mengganggu orang lain. Kalau itu terjadi, masihkan kita punya
keberanian untuk mengklaim bahwa Islam itu adalah rahmat bagi
sekalian alam?

Hasanudin Abdurakhman
http://abdurakhman.com

No comments:

Yahoo Mesengger